Pages

Friday, December 16, 2011

Sebuah Tangga

~~~~~

Pada suatu hari, ada seorang bapak dengan anak lelakinya sedang memperbaiki atap rumahnya. Sang bapak bekerja di atas atap, sedangkan anak lelakinya membantu dari bawah.

Saat istirahat siang, sang bapak memanggil anaknya.

"Nak..., menurutmu apa yang paling penting dari tangga bambu itu, yang membuat tangga itu menjadi kokoh dan mampu menahan beban?"

"Tentu kedua bambu panjang yang menjadi tianglah yang paling penting"

"Benar..., tapi apakah hanya kedua bambu panjang itu saja yang penting, bagai mana dengan anak tangganya? Bukankah anak tangga itu yang dijadikan pijakan saat akan naik?"

"Mmm..., benar Ayah..., anak tangga itu juga penting"

"Lalu apakah kau tidak memperhatikan pasak kecil, yang dipasang pada tepi setiap anak tangga?Bukankan pasak itu juga penting, karena menjaga agar anak tangga tidak bergeser an lepas?

"Iya..., Ayah. Sekarang saya mengerti bahwa meskipun kecil dan dianggap remeh, ternyata semua punya peran masing-masing, yang saling dukung dan semuanya penting."

Sang Ayah tersenyum mendengar jawaban anaknya yang polos.

~~~~
Jakarta, 17 Februari 2012, siang hari
Ditulis dan diposting saat merasa sedang dianggap tidak penting

Sunday, June 5, 2011

Buruk Sangka


~~~~~
Pada suatu siang, seorang magician sekaligus card fourish beranjak ke sebuah tempat ibadah. Di tengah-tengah khusuknya beribadah, tiba-tiba si magician ini menunduk untuk membetulkan gulungan celananya yang berantakan. Meluncurlah satu pak kartu remi dari saku kemejanya. Kartu itu jatuh berserakan. Melihat kejadian ini sontak para jamaah yang ada di sekitar si magician ini menoleh karena merasa kekhusukannya terganggu.
Gunggaman bernada negatifpun bermunculan. Rupanya si magician yang baru saja show di dekat tempat ibadah ini terlalu terburu-buru, sehingga lupa menyimpan kartu-kartunya di box propertinya.

Salah seorang jamaah yang duduk persis disebelah si magician ini berkata "Mas, ke tempat ibadah kok bawa-bawa barang kaya gitu sih. Itu kan alat buat judi, gak pantes dibawa ke sini. Klo abis judi jangan langsung ke sini-lah, tobat dulu baru ke sini"
Mendengar hal ini si magician hanya tersenyum.

~~~~~
Terkadang di kehidupan sehari-hari, banyak hal yang dijustifikasi secara langsung tanpa memperdulikan alasan yang menjadi penyebab utamanya.

Penggalah kisah di atas merupakan bukti nyata, bahwa kartu remi selalu di konotasikan negatif sebagai alat judi. Padahal kenyataannya kartu tersebut merupakan salah satu properti dalam pertunjukan sulap.

Padahal alat untuk perjudian tidak melulu berwujud kartu, hampir semua benda dapat dijadikan alat untuk berjudi.

Dalam kenyataannya handphone pun dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk berjudi. Hal serupa sama juga dengan profesi magician (tukang sulap), yang sering dikonotasikan negatif dengan bekerja sama dengan setan. Padahal hampir semua hal dalam sulap merupakan trik yang menggunakan alat, pengalihan perhatian, kemahiran atau skill tangan dan lain sebagainya.

Maka bila ada yang menganggap bahwa sulap itu dosa karena dibantu jin atau setan adalah sebuah kekeliruan besar.

~~~~~
Adalah sebuah hal yang bijak apabila tidak terlalu cepat dalam menjustifikasi suatu hal tanpa mau mengetahui latar belakangnya.

Buka mata dan buka hati dalam melihat segala sesuatu merupakan salah satu hal yang sangat amat bijak

~~~~~
Jakarta, 05 Juni 2011, menjelang tengah malam
Ditulis dan diposting saat teringat akan curhat seorang teman yang berprofesi sebagai magician.

Sunday, April 10, 2011

Kisah Sebuah Jam



~~~~~
Pada suatu ketika tersebutlah sebuah jam yang telah rusak sehingga dibuang oleh pemiliknya.
Sejak dinyatakan rusak dan dibuang, jam ini tak henti-hentinya meratap.
"Betapa malangnya diriku, dulu saat aku masih bisa berfungsi normal, aku selalu diandalkan, dijadikan pedoman untuk menentukan waktu. Kini setelah rusak, diriku dicampakkan ke tempat sampah, bercampur dengan sisa makanan dan kaleng bekas. Sungguh malang nasibku ini, kini aku benar-benar menjadi seuatu yang tak berguna" ratap Jam Rusak.

Mendengar ratapan memilukan ini, bak sampah tua tersenyum dan berkata, "Hei, kamu Jam Rusak, berhentilah meratap. Sesering apapun kau meratap dan menangis, menyesali nasib, tak akan membuatmu menjadi berfungsi seperti jam baru penggantimu. Ratapanmu justru akan membuat dirimu menjadi lebih terluka. Terimalah nasib jangan justru menyalahkannya. Tahukah kamu, meskipun kini jarummu telah bengkok, roda gigimu telah gompal, tapi kamu masih tetap berguna. Setidaknya setiap hari kamu pasti akan menunjukkan waktu yang tepat sebayak dua kali"

~~~~~

Terkadangh idup memang terasa tidak adil, saat kita masih mampu memberikan sesuatu yang bermanfaat, kita selalu diandalkan, namun begitu fungsi telah menurun akibat dimakan usia atau ada pengganti yang lebih baik, tak jarang dicampakkan begitu saja.

Namun ketahuilah tak ada sesuatupun yang sia-sia di dunia ini. Bahkan jam yang rusakpun, mampu menunjukkan dua kali waktu yang tepat dalam sehari.

~~~~~

Terinspirasi saat melihat jam beker yang biasa diandalkan untuk membangunkan setiap pagi rusak akibat jatuh.

~~~~~

Jakarta, 10 April 2011, tengah malam
Ditulis dan diposting saat mengharapkan kantuk untuk segera datang

Kisah Adik dan Kakak

~~~~~

Aku dilahirkan di sebuah dusun pegunungan yang sangat terpencil. Hari demi hari, orang tuaku membajak tanah kering kuning, dan punggung mereka menghadap ke langit. Aku mempunyai seorang adik, tiga tahun lebih muda dariku. Suatu ketika, untuk membeli sebuah sapu tangan yang mana semua gadis di sekelilingku kelihatannya membawanya, aku mencuri lima puluh sen dari laci ayahku. Ayah segera menyadarinya. Beliau membuat adikku dan aku berlutut di depan tembok, dengan sebuah tongkat bambu ditangannya. "Siapa yang mencuri uang itu?" Beliau bertanya. Aku terpaku, terlalu takut untuk berbicara. Ayah tidak mendengar siapa pun mengaku, jadi Beliau mengatakan, "Baiklah, kalau begitu, kalian berdua layak dipukul!"
Dia mengangkat tongkat bambu itu tinggi-tinggi. Tiba-tiba, adikku mencengkeram tangannya dan berkata, "Ayah, aku yang melakukannya!"

Tongkat panjang itu menghantam punggung adikku bertubi-tubi. Ayah begitu marahnya sehingga ia terus-menerus mencambukinya sampai Beliau kehabisan nafas.

Sesudahnya, Beliau duduk di atas ranjang batu bata kami dan memarahi, "Kamu sudah belajar mencuri dari rumah sekarang, hal memalukan apa lagi yang akan kamu lakukan di masa mendatang? Kamu layak dipukul sampai mati! Kamu pencuri tidak tahu malu!" Malam itu, ibu dan aku memeluk adikku dalam pelukan kami. Tubuhnya penuh dengan luka, tetapi ia tidak menitikkan air mata setetes pun. Di pertengahan malam itu, saya tiba-tiba mulai menangis meraung-raung. Adikku menutup mulutku dengan tangan kecilnya dan berkata, "Kak, jangan menangis lagi sekarang. Semuanya sudah terjadi."

Aku masih selalu membenci diriku karena tidak memiliki cukup keberanian untuk maju mengaku. Bertahun-tahun telah lewat, tapi insiden tersebut masih kelihatan seperti baru kemarin. Aku tidak pernah akan lupa tampang adikku ketika ia melindungiku. Waktu itu, adikku berusia 8 tahun. Aku berusia 11.

Ketika adikku berada pada tahun terakhirnya di SMP, ia lulus untuk masuk ke SMA di pusat kabupaten. Pada saat yang sama, saya diterima untuk masuk ke sebuah universitas propinsi. Malam itu, ayah berjongkok di halaman, menghisap rokok tembakaunya, bungkus demi bungkus. Saya mendengarnya memberengut, "Kedua anak kita memberikan hasil yang begitu baik?hasil yang begitu baik? Ibu mengusap air matanya yang mengalir dan menghela nafas, "Apa gunanya? Bagaimana mungkin kita bisa membiayai keduanya sekaligus?" Saat itu juga, adikku berjalan keluar ke hadapan ayah dan berkata, "Ayah, saya tidak mau melanjutkan sekolah lagi, telah cukup membaca banyak buku. " Ayah mengayunkan tangannya dan memukul adikku pada wajahnya. "Mengapa kau mempunyai jiwa yang begitu keparat lemahnya? Bahkan jika berarti saya mesti mengemis di jalanan saya akan menyekolahkan kamu berdua sampai selesai!" Dan begitu kemudian ia mengetuk setiap rumah di dusun itu untuk meminjam uang. Aku menjulurkan tanganku selembut yang aku bisa ke muka adikku yang membengkak, dan berkata, "Seorang anak laki-laki harus meneruskan sekolahnya; kalau tidak ia tidak akan pernah meninggalkan jurang kemiskinan ini."

Aku, sebaliknya, telah memutuskan untuk tidak lagi meneruskan ke universitas. Siapa sangka keesokan harinya, sebelum subuh datang, adikku meninggalkan rumah dengan beberapa helai pakaian lusuh dan sedikit kacang yang sudah mengering. Dia menyelinap ke samping ranjangku dan meninggalkan secarik kertas di atas bantalku: "Kak, masuk ke universitas tidaklah mudah. Saya akan pergi mencari kerja dan mengirimimu uang." Aku memegang kertas tersebut di atas tempat tidurku, dan menangis dengan air mata bercucuran sampai suaraku hilang. Tahun itu, adikku berusia 17 tahun. Aku 20. Dengan uang yang ayahku pinjam dari seluruh dusun, dan uang yang adikku hasilkan dari mengangkut semen pada punggungnya di lokasi konstruksi, aku akhirnya sampai ke tahun ketiga (di universitas) .

Suatu hari, aku sedang belajar di kamarku, ketika teman sekamarku masuk dan memberitahukan, "Ada seorang penduduk dusun menunggumu di luar sana! "Mengapa ada seorang penduduk dusun mencariku? Aku berjalan keluar, dan melihat adikku dari jauh, seluruh badannya kotor tertutup debu semen dan pasir. Aku menanyakannya, "Mengapa kamu tidak bilang pada teman sekamarku kamu adalah adikku?" Dia menjawab, tersenyum, "Lihat bagaimana penampilanku. Apa yang akan mereka pikir jika mereka tahu saya adalah adikmu? Apa mereka tidak akan menertawakanmu?" Aku merasa terenyuh, dan air mata memenuhi mataku. Aku menyapu debu-debu dari adikku semuanya, dan tersekat-sekat dalam kata-kataku, "Aku tidak perduli omongan siapa pun! Kamu adalah adikku apa pun juga!

Kamu adalah adikku bagaimana pun penampilanmu? Dari sakunya, ia mengeluarkan sebuah jepit rambut berbentuk kupu-kupu. Ia memakaikannya kepadaku, dan terus menjelaskan, "Saya melihat semua gadis kota memakainya. Jadi saya pikir kamu juga harus memiliki satu." Aku tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Aku menarik adikku ke dalam pelukanku dan menangis dan menangis. Tahun itu, ia berusia 20. Aku 23.

Kali pertama aku membawa pacarku ke rumah, kaca jendela yang pecah telah diganti, dan kelihatan bersih di mana-mana. Setelah pacarku pulang, aku menari seperti gadis kecil di depan ibuku. "Bu, ibu tidak perlu menghabiskan begitu banyak waktu untuk membersihkan rumah kita!"

Tetapi katanya, sambil tersenyum, "Itu adalah adikmu yang pulang awal untuk membersihkan rumah ini. Tidakkah kamu melihat luka pada tangannya? Ia terluka ketika memasang kaca jendela baru itu.." Aku masuk ke dalam ruangan kecil adikku. Melihat mukanya yang kurus, seratus jarum terasa menusukku.. Aku mengoleskan sedikit saleb pada lukanya dan mebalut lukanya. "Apakah itu sakit?" Aku menanyakannya. "Tidak, tidak sakit. Kamu tahu, ketika saya bekerja di lokasi konstruksi, batu-batu berjatuhan pada kakiku setiap waktu. Bahkan itu tidak menghentikanku bekerja dan? Ditengah kalimat itu ia berhenti. Aku membalikkan tubuhku memunggunginya, dan air mata mengalir deras turun ke wajahku.

Tahun itu, adikku 23. Aku berusia 26. Ketika aku menikah, aku tinggal di kota. Banyak kali suamiku dan aku mengundang orang tuaku untuk datang dan tinggal bersama kami, tetapi mereka tidak pernah mau. Mereka mengatakan, sekali meninggalkan dusun, mereka tidak akan tahu harus mengerjakan apa. Adikku tidak setuju juga, mengatakan, "Kak, jagalah mertuamu aja. Saya akan menjaga ibu dan ayah di sini." Suamiku menjadi direktur pabriknya. Kami menginginkan adikku mendapatkan pekerjaan sebagai manajer pada departemen pemeliharaan. Tetapi adikku menolak tawaran tersebut.

Ia bersikeras memulai bekerja sebagai pekerja reparasi. Suatu hari, adikku di atas sebuah tangga untuk memperbaiki sebuah kabel, ketika ia mendapat sengatan listrik, dan masuk rumah sakit. Suamiku dan aku pergi menjenguknya. Melihat gips putih pada kakinya, saya menggerutu, "Mengapa kamu menolak menjadi manajer? Manajer tidak akan pernah harus melakukan sesuatu yang berbahaya seperti ini. Lihat kamu sekarang, luka yang begitu serius. Mengapa kamu tidak mau mendengar kami sebelumnya?"

Dengan tampang yang serius pada wajahnya, ia membela keputusannya. "Pikirkan kakak iparė»Ÿa baru saja jadi direktur, dan saya hampir tidak berpendidikan. Jika saya menjadi manajer seperti itu, berita seperti apa yang akan dikirimkan?" Mata suamiku dipenuhi air mata, dan kemudian keluar kata-kataku yang sepatah-sepatah, "Tapi kamu kurang pendidikan juga karena aku!"
"Mengapa membicarakan masa lalu?" Adikku menggenggam tanganku. Tahun itu, ia berusia 26 dan aku 29. Adikku kemudian berusia 30 ketika ia menikahi seorang gadis petani dari dusun itu. Dalam acara pernikahannya, pembawa acara perayaan itu bertanya kepadanya, "Siapa yang paling kamu hormati dan kasihi?" Tanpa bahkan berpikir ia menjawab, "Kakakku."

Ia melanjutkan dengan menceritakan kembali sebuah kisah yang bahkan tidak dapat kuingat.. "Ketika saya pergi sekolah SD, ia berada pada dusun yang berbeda. Setiap hari kakakku dan saya berjalan selama dua jam untuk pergi ke sekolah dan pulang ke rumah. Suatu hari, saya kehilangan satu dari sarung tanganku. Kakakku memberikan satu dari kepunyaannya. Ia hanya memakai satu saja dan berjalan sejauh itu. Ketika kami tiba di rumah, tangannya begitu gemetaran karena cuaca yang begitu dingin sampai ia tidak dapat memegang sendoknya. Sejak hari itu, saya bersumpah, selama saya masih hidup, saya akan menjaga kakakku dan baik kepadanya."

Tepuk tangan membanjiri ruangan itu. Semua tamu memalingkan perhatiannya kepadaku. Kata-kata begitu susah kuucapkan keluar bibirku, "Dalam hidupku, orang yang paling aku berterima kasih adalah adikku." Dan dalam kesempatan yang paling berbahagia ini, di depan kerumunan perayaan ini, air mata bercucuran turun dari wajahku seperti sungai.

~~~~~

Source : dari berbagai blog motivasi

~~~~~
Jakarta, 10 April 2011, menjelang tengah malam
Diposting saat menanti kantuk yang tak kunjung datang